Antara Kondom dan Jalan Dago

iconJalan Ir H. Djuanda yang lebih dikenal dengan sebutan Jalan Dago adalah salah satu tempat yang selalu ramai dipadati orang-orang yang ingin menghabiskan akhir pekannya di kota kembang Bandung. Sepintas jalan ini tidak lebih dari jalan-jalan diseputaran Bandung lainnya, malah ada dan banyak jalan yang lebih bagus dan lebih lebar dari Dago, namun rupanya Dago ini punya daya tarik tersendiri; sebuah eksotisme.Jalan ini sejak dulu memang menjadi tempat mengekspresikan kebebasan dan kepenatan, para muda mudi, remaja dan remaji tak pernah sedetikpun melewatkan malamnya dijalanan ini. Apalagi jika akhir pekan datang, tak hanya orang pribumi, tamu luar kota pun seperti dari Jakarta, Bogor, Cianjur, bahkan dari kota Gudeg Jogja jauh-jauh datang ke Dago hanya sekedar ingin menikmati aura eksotisnya. Disepanjang jalan ini tergelar aneka jajanan yang mengundang selera. Mulai dari jajanan urang Sunda semisal jagung bakar/rebus, cimol alias cireng small (baca:smol), surabi dengan aneka rasa mengundang selera di lidah, ada manis yang rasa coklat dan moca susu, ada asin dengan rasa daging isi kornet, nasi goreng aneka spesial, batagor, colenak, lotek, baso tahu, bubur ayam, kue putu, oncom/tempe goreng, susu murni, lomie, es cendol, rempeyek, martabak, mie kocok, rujak, atau sekedar menikmati secangkir bandrek susu yang menghangatkan badan. Dago pun tempat berkumpulnya aneka makanan luar yang terkadang susah untuk dilapalkan. Bagi orang yang ingin sedikit mengenalkan lidahnya dengan makanan asing, bisa mencicipi sejenis steak, chess burger, chicken nuggets, pizza, spaggeti, pasta, charleon, macaroni bapana atau sekedar mencicipi daging kebab khas Turki dan makanan antah barantah lainnya. Kafe-kafe tenda semi permanen yang menyajikan aneka jajanan itu pun dibuat sedemikian menarik bahkan tampak unik. Ada yang hanya bersinarkan cahaya lampion atau cempor bahkan dengan menggunakan nyala obor, sehingga mengundang orang untuk memasukinya atau sekedar kongkow-kongkow dipelatarannya. Selain setting yang unik menjurus artistik itu para pemilik kafe tenda itu pun coba memanjakan pengunjungnya dengan alunan musik yang live, baik itu sejenis acoustic version single guitar player ataupun full band. Malah saking ingin merebut hati pengunjung, ada kafe yang menghibur pengunjungnya dengan gesekan snar biola dari seorang violist. Kenny G aspal-pun (asli tapi palsu-red) tampak melankolis dengan lengkingan suara saxofonnya. Selain semarak nan rancak dengan aneka jananan dan musik gratisan, Dago pun terkenal sebagai gudangnya factory outlet yang memang menjadi ciri khas dari Kota Bandung itu sendiri. Sepanjang jalan yang terbentang mulai dari simpang Jalan Merdeka dan Jalan L.R.E Martadinata sampai dengan tepian Dago Tea House dan Terminal angkot Dago ini berjajar berbagai factory-factory outlet, maka tak heran jika urang Bandung selalu tampak fashionable. Dengan hingar bingar seperti itu, malam di Dago tak lagi milik gerombolan kekelawar atau burung hantu, tapi sudah menjadi dan dikuasai peluh keringat bercucuran dalam aktivitas dan atraksi kreasi. Malam menjadi semacam dunia pemberontakan, dunia pelarian dan pelampiasan pada garis norma. Dunia bagi para pedewa kebebasan etika dan estetika, para pemuja khayal dan angan. Sehingga perlahan eksotismenya berganti kecabulan, dan kreativitasnya berwujud kedurjanaan. Setidaknya itu yang terlihat dari setiap ruas Jalan Dago saat ini. Taman Dago misalnya, sejak petang menjelang malam, taman yang tak terlalu besar dan tampak tak terawat itu tak pernah sepi diseraki muda mudi yang pesta botol (baca : miras), –maklum saja, untuk mendapatkan sebotol Vodka apalagi sekedar sekaleng bir hitam bukanlah hal sulit disitu, pasalnya disekitar tempat itu ngajugrug dua buah toko minuman keras yang katanya legal dan dapat ijin dari penguasa setempat. Disitu bisa didapati berbagai jenis minuman beralkohol, baik yang lokal maupun impor, semisal Jack Daniel, Johny Walker, OJ, Black Label, Mansion, Martini, sampai dengan arak tradisional yang rasanya tak lebih pesing dari kencing kuda. Dunia madat pun telah menjadi bagian dari eksotisme Jalan Dago, kafe-kafe yang berjajar kini tak lagi sebatas menjajakan aneka menu makanan, namun juga sebagai tempat transaksi madat, baik yang kelas coro sampai level bandar. Meskipun memang untuk hal satu ini masih bersifat terselubung. Namun itu belumlah cukup, di Dago ada hal yang bikin geli sekaligus nyinyir, setidaknya bagi mereka yang masih berkaca pada etika dan norma. Bagi kios atau warung box yang berserak disepanjang ruas trotoar, menjual kondom adalah suatu keharusan, pasalnya aksesoris untuk linggayoni ini merupakan barang dagangan yang paling laris setelah minuman keras. Buktinya saja, jika menanyakan semacam Durex, Simplex, atau Sutra Fiesta di kios-kios tersebut diatas pukul 9 malam terutama pada malam minggu, dijamin habis dan pasti tidak akan kebagian. Kenapa begitu laris dan untuk apa?, hanya orang-orang yang membelinya saja yang tahu. Kalaupun coba untuk positif thinking, bahwa mereka yang membeli adalah pasangan pasutri (suami istri-red) resmi, tapi hal itu justru disanggah sendiri oleh salah seorang penjual kios disana, “Yang paling sering beli sih anak-anak muda, malah anak sekolah yang masih pake seragam pun suka beli disini,” ujarnya. Nah lho !.

~ by secangkirkopipagi on April 1, 2009.

Leave a comment